Distorsi Game
Tapi pagi itu yang mereka perbincangkan adalah game dan
kuliah. Setelah semalam ia larut main game hingga hampir melewatkan sepertiga
malam. Menunggu Hero baru yang segera hadir, ia mendapat informasi itu dari
portal berita online yang ia baca kemarin.
“Aku harus beli Hero baru itu Bung” katanya pada Barra.
Barra nampak kaget dengan apa yang ia katakan, “memangnya
ada Hero baru Bung” tanya Barra padanya.
“ia, ada tuh. Kamu ndak baca apa” sambil menghisap
rokoknya ia melanjutkan “ada kok beritanya di portal berita online”.
Sebelum meanggapi Barra menyempatkan menyerumput kopinya,
“ah aku belum baca tuh, soalnya akhir-akhir ini aku malas main itu”
Mendengar jawaban Barra, ia tersenyum sinis karena
biasanya Barra yang paling update soal game itu, “elleeh malas, alasan saja
kamu. Paling kamu ndak terima yah aku dapat info updetan terbarunya lebih dulu”
“kau kayak anak kecil saja. Aku sekarang main gamenya
yang santai saja”
Ia memotong perkataan Barra sebelum sempat
menyelesaikannya, “palingan game lama yang lagi rame dimaini sama anak-anak
tuh”
Perbincangan mereka terus berlanjut mengenai game, ia dan
Barra memperbincangkan mengapa banyak yang kembali memainkan game lama itu.
Dari pendiskusian pagi itu, mereka menarik kesimpulan bahwa mereka ingin
mengurangi intensitas main gamenya. Setelah semester kamarin kuliahnya
berantakan karna wanita. Mereka yang terlalu asyik dengan junior-junior bahkan
mabapun yang belum tau apa-apa juga meraka sikat. Semester kali ini mereka
bertekat memperbaikinya.
salah satu potret distorsi game dikalangan milenials |
Untuk merubah kebiasaan itu rasanya sesuatu yang sangat
sulit bagi mereka wujudkan. Ibarat Iblis kedua kebiasaan itu terus
mempengaruhinya, membisiki dikedua telinga mereka dengan iming-iming kepuasan
semu. Game mereka jadikan sebagai pelarianya agar tidak lagi larut dengan
wanita, ternyata belum mampu sepenuhnya mengubah kebiasaan mereka disemester
lalu. Game yang sejatinya hadir sebagai hiburan dikala kita penat dengan segala
aktivitas keseharian kita, ternyata telah mengalami pergeseran fungsi seperti
yang terjadi saat ini, dimana game telah menyusup dan kemudian menjelma menjadi
salah satu aktivitas primer bagi hampir semua kalangan generasi Z.
Sebelum kelas dimulai Barra menyempatkan membuka game
onlinenya, memeriksa village dan memasak beberapa pasukan yang akan ia bawa
war. Sambil memainkan gamenya Barra tak hentinya mengepulkan asap rokoknya tak
lupa sesekali menyeruput kopinya yang mulai dingin. Di depannnya Warra
diam-diam mendowload game yang sama dan kembali memainkan akun lamanya setelah
beberapa tahun tak ia mainkan. Ia nampaknya kebingungan karena banyak perubahan
yang ia dapati. Sebenarnya Warra ingin bertanya Beberapa hal pada Barra
mengenai game itu tapi nampaknya ia sungkan.
“ra, kelas sudah mau mulai nih. Ayo kita ke kelas jangan
sampai terlambat seperti minggu lalu” kata Barra sambil membuang puntung
rokonya lalu mengemasi barangnya kedalam tas kecilnya.
Sebelum sempat memeriksa semua perubahan di game itu Warra
pun bergegas,
“oh iya sudah jam sepuluh yah”. Warra menandaskan kopinya
dan berdiri sambil membuang puntung rokonya ke tong sampah di sebelahya.
Sebelum sempat melangkahkan kaki, mereka merasakan wajahnya
kepanasan dan seseorang terus memanggil nama mereka berdua, kaki mereka pun
terasa bergoyang. Suara itu semakin keras dan kaki mereka pun terasa kuat
bergoyang. Setelah temannya si Budi dengan jail menggoda pusaka mereka, mereka
sontak terbangun dan menyadari wajahnya panas karena sinar matahari yang
menerpanya dari jendela yang telah buka oleh si Budi sebelumnya.
“Hai kau berdua” kata Budi
“kau ndak masuk di kelas EP lagi kah? Dosen mu sudah ada
dikelas tuh” sebelum sempat berbalik ke kedua temannya.
Budi menambahi “bukannya minggu lalu kau juga ndak masuk
gara-gara terlambat”.
Merasa tak ada yang menjawab Budi menengok, ia melihat Warra
dan Barra kocar-kacir tanpa sempat membersihkan sisa-sisa war di pinggiran mata
mereka apalagi mandi, mereka berlari ke kelas.
Mahmud Awi.R18
Mahmud Awi.R18
Komentar
Posting Komentar